Penyakit berasal dari kata "sakit" yang di dalam kitab suci umat Islam dikenal dengan maridlun, merupakan anugrah yang harus disikapi dengan bijaksana oleh manusia sebagai hamba Tuhan. Dua hal yang menyebabkan orang berseberangan tentang filosofi kata sakit. Pertama bagi yang berkepentingan dengan urusan spiritual, maka orang yang sakit dapat disebut sebagai seseorang yang sedang diuji oleh Tuhannya. Kedua bagi kalangan yang hanya berpikiran urusan duniawi, logika semata, takdir, dan materialisme, maka menganggap bahwa sakit merupakan kesialan yang diterimanya. Kalangan ini sering menyalahkan orang lain atau pihak lain dalam persoalan kesialannya, namun jika memperoleh kesenangan atau kebahagiaan, mereka kerapkali menganggap, bahwa kebahagiaan tersebut berasal dari kerja kerasnya.
Penyakit atau “sakit” adalah kata sifat, tentunya digolongkan kepada kata yang tidak tampak, seperti kata benda: meja, kursi, dan air. Mengingat keberadaan katanya saja sudah disebut tidak tampak, maka termasuk persoalan gaib. Gaib dalam ajaran kitab suci umat Islam lawannya nyata. Perkara gaib hanya dapat diketahui oleh Tuhan atau oleh umat yang diizinkan Tuhan untuk melihatnya. Melihat kegaiban dapat digunakan dengan dua cara, yaitu alat yang dibuat oleh manusia, seperti melihat gelombang elektromagnetik (termasuk gaib) dan yainkan oleh Tuhan untuk melihatnya seperti hamba pilihan dapat melihat malaikat dan jin.
Sakit yang termasuk persoalan gaib sebenarnya berasal dari aktivitas kegaiban. Hanya ada indicator yang dapat diperhatikan melalui prilaku, gerakan, dan ahlak. Indikator-indikator tersebut sebenarnya dapat dirasakan oleh setiap manusia. Ada yang merasakan indicator, ada yang tidak merasakannya, ada pula yang pura-pura tidak merasakan indicator kegaiban tersebut. Sebenarnya indicator tentang kegaiban “penyakit” dapat dilalui oleh manusia, asalkan manusia menyadari eksistensinya, seperti:
a. dari mana manusia hidup;b. untuk apa manusia dihidupkan;
c. mau ke mana manusia yang hidup;
d. setelah hidup, kemudian mati, ada apa dengan kematian.
Jika ditilik keempat hal tersebut, maka manusia sebenarnya akan menyadari
dari mana ia bersal dan siapa yang memberinya kehidupan. Kehidupan yang berasal dari kata hidup, belum ada yang dapat mendefinisikannya. “Apakah arti hidup?” Mengingat persoalan hidup juga termasuk gaib, sehingga sulit mencari definisinya.
Semua manusia mempunyai keinginan agar kehidupannya mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat, namun ada yang memilih jalan untuk kehidupan dunia semata, artinya berpuas-puas dengan kehidupan dunia, tanpa peduli dengan kehidupan kelanjutannya di akhirat. Padahal kehidupan di dunia hanya sebentar (sementara), jarang manusia yang mencapai usia lebih dari 100 tahun. Usia 80 tahun juga sangat menyulitkan dirinya, keluarganya, dan orang lain, apalagi 100 tahun. Berapa harga sebuat usia, berapa harga suatu kesenangan, berapa harga sebuah kesombongan, dan berapa harga suatu kehabagiaan di dunia? Pertanyaan ini sering timbul dari pihak-pihak yang sedang menjalani kesederhanaan dalam kehidupan. Sesungguhnya kehidupan tidak dapat dikendalikan oleh nilai material kebahagiaan, karena kebahagiaan termasuk permasalahan gaib yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang tidak dapat dipaksakan. Kehidupan kadang-kadang dapat dihentikan oleh penyakit sesaat. Ada yang hidup dengan berbagai kemewahan, tidak pernah sakit, bebas, puas dan bringas, seperti Fir’aun sepanjang usia mencapai kesenangan, lalu sedikit saja diberi kesakitan….yaitu ketika ditenggelamkan oleh Tuhannya di laut, merasakan kesakitan yang mendalam… menjelang sakaratul maut, Fir’aun mengakui Tuhan yang disembah Nabi Musa AS. Fir’aun seakan-akan hidup dalam kesakitan selamanya, lupa sepanjang hidup yang telah dilaluinya selalu sehat dan bugar. Memang aklhirnya Fir’aun ditimpa kesakitan selamanya, yaitu siksaan (balasan bagi orang yang mengingkari Ketuhanan Allah SWT) di alam akhirat.
Memang kadang-kadang manusia terlupakan, jika sepanjang usia sehat, lalu sakit sejenak, maka seolah-olah sepanjang hidupnya sakit terus, sampailah berputus asa, menyalahkan pihak lain, menyalahkan siapa saja, bahkan (a’udubillah) kepada Tuhannya. Berbagai factor penyebab penyakit, jika dihimpun dalam satu wadah, maka wadah tersebut disebut ahlak. Tuhan jelaskan kepada manusia melalui utusan-Nya yang mulia, Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan “menyempurnakan ahlak manusia.” Bila ahlak sudah baik, maka bukan hanya sebagai wacana, tapi harus disesuaikan dengan ahlak Nabi SAW. Percontohan ahlak di luar pribadi Rasulullah SAW adalah tidak diizinkan oleh Tuhan. Ahlah Nabi SAW yang tercermin dalam prilaku dan ucapannya dapat dilihat di al-Qur’an dan as-Sunnah Nabawiah. Sebuah wadah yang disebut ahlak, isinya dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan perintah untuk dikerjakan dan golongan larangan untuk ditinggalkan. Golongan perintah untuk dikerjakan seperti berbuat baik kepada semua mahluk Tuhan, berupa ucapan yang bijak dengan niat (dalam hati) yang baik dan prilaku yang tidak menimbulkan orang lain menderita. Tiga ajaran Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan tersebut tidak dapat dikurangi (niat, ucapan, dan tindakan). Demikian pula larangan, baik larangan berat yang sifatnya haram maupun larangan ringan, seperti makruh. Adakalanya, larangan yag sangat ringan dapat berpotensi menjadi larangan berat. Artinya tindakan yang tidak baik maupun tidak terpuji yang paling ringan, seperti kebiasaan memasuki rumah/kantor/mesjid dengan langkah kaki kiri, meludah ke kanan, tidak menghormati orang lain, melamun dengan kesendiriannya, akan berpotensi mengundang penyakit. Berpikiran jelek (dalam lamunan), akan dimasuki oleh virus-virus yang berpotensi menjadi bibit penyakit. Virus yang sering disebutkan oleh kalangan medis adalah penyebarannya sangat cepat dan tidak dapat dilihat oleh kasat mata (gaib). Boleh jadi virus yang gaib tersebut berjalan seperti gelombang eletromagnetik yang juga tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Demikian pula Jin yang sering disebut sebagai mahluk gaib, juga diduga berjalan seperti gelombang elektromagnetik.
So, penyakit datang karena manusia tidak memperhatikan ahlak binaan Nabi Muhammad SAW, yaitu ahlak mulia. Tidak terasa atau tidak disadarinya, bahwa suatu kegiatan sering bertentangan dengan kemuliaan (ahlak) manusia, maka Tuhan mengujinya dengan penyakit yang sesuai prilaku yang pernah diperbuatnya. Ada dalam kepercayaan di suatu komunitas yang disebut karma (pembalasan dari suatu perbuatan), sehingga anggota komunitas tersebut tidak berani berbuat yang melanggar norma setempat. Demikian pula di dalam masyarakat yang memegang penuh adapt-istiadat, seperti suku-suku pedalaman dan suku-suku asli suatu komunitas yang menjalankan kehidupannya secara sederhana, “tidak” berani berbuat melanggar adat-istiadatnya, karena akan terjadi suatu bencana massal.
Ajaran-ajaran di Mesir kuno, suku Baduy (Jawa Barat) di Indonesia, suku Dayak di Kalimantan, dan suku-suku dibelahan dunia lainnya, seperti di tanah Arab dan Yunani yang lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme telah disempurnakan dan diperbaiki dengan kehadiran ajaran ahlak yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW….. bersambung…